KabarIndonesia - "Prinsip demokrasi dikorup bukan saja ketika spirit kesetaraan hilang, tetapi juga ketika spirit kesetaraan yang ekstrem berlangsung—manakala setiap orang merasa pantas memimpin." (Montesqieu)
Ada yang hilang dari media. Apakah itu? Sebulan yang lalu, media kita disarat-padati wajah-wajah caleg dan petinggi partai politik (parpol) yang "terpaksa" menyapa warga masyarakat agar sudi menjatuhkan contrengannya kepada nama dan atau gambar partainya. Tapi di tengah kemoloran rekapitulasi Komisi Pemilihan Umum (KPU), para petinggi parpol mensegerakan aksian "lupa-lupa syairnya" dan konsenstrasi menghitung-hitung arah koalisi. Meski masih berpijak pada hasil quick count dan hasil survey lembaga sana-lembaga sini, tetapi parpol telah membawa suara konstituen dalam kantongnya sebagai materi bargain power menentukan keberhargaan diri. Ironis sekali, baru sebulan lalu berakrab-akrab ria dengan rakyat, namun sekarang telah enggan menyapanya kembali dalam penentuan arah progresivitas parpol, terutama dalam membangun koalisi menuju Pemilihan Presiden 2009 Juli nanti.
Konsumen Insidental
Apabila kearifan meluangkan waktu di ruang tamu hati kita, kita akan menyadari bahwa politisi memandang rakyat sebagai konsumen insidental, habis manis sepah dibuang. Belumlah kering air liur menyapa dan menyerukan akan perhatiannya kepada rakyat, atau wong cilik (terserahlah politisi-politisi menyebut rakyat sebagai apa), para petinggi parpol telah melupakan eksistensi dan aspirasi konstituen sebagai amanah dan bahan bakar utama lajunya sebuah kendaraan politik bernama parpol. Ketika kita sedikit lebih berani mengevaluasi rangkaian peristiwa dalam pemilihan anggota legislatif (Pileg) 2009, kita akan mendokumentasi fenomena bahwa dalam masa kampanye terbuka kemarin proses interaksi ruang publik kita disarat-padati berbagai polesan citra politisi, baik yang merupakan produk daur ulang maupun caleg-caleg karbitan yang ingin menarik simpati dan kepercayaan masyarakat. Manajemen atau strategi populis menjadi pilihan mudah bagi para caleg untuk memperkenalkan dan mengkampanyekan diri. Padahal, manajemen populis bersifat temporer, bahkan insidental, dan terikat ruang dan waktu. Seperti halnya Kontes Dangdut Indonesia (KDI) di TPI atau "The Master" di RCTI, pilihan strategi kampanye politisi dalam Pileg 2009, justru menjadikan ajang pesta demokrasi tak lebih dari ajang unjuk kreatifitas dan popularitas individu. Akibatnya, esensi pemilu menjadi mimpi lalu yang kelak akan susah untuk diceritakan kepada anak dan cucu. Realitanya, apa yang dilakukan politisi tersebut tidaklah terlalu berlebihan melenceng dari kesejatian manusia, karena penggunan manajemen dan strategi populis lebih disebabkan oleh motivasi ekonomi dan budaya instan; lebih cepat lebih menghasilkan. Meski harus jujur diakui bahwa tak ada ruang bagi kalibrasi proses menuju keberhasilan atau ketercapaian harapan sebuah pesta demokrasi. Motivasi ekonomi menjadikan segenap aksian politik yang dilakukan para caleg cenderung mentransfer metodologi bisnis dan mempertimbangkan aspek kapital, pasar, produk, hingga promosi. Terbukti, caleg parpol dengan kapital besar mampu meraih simpati dan suara konstituen karena memiliki peluang yang lebih besar untuk berkampanye (promosi) dibandingkan caleg parpol dengan modal cekak.
Faktanya, kapital tidak lagi sekadar berfungsi untuk untuk menutup biaya produksi penciptaan popularitas secara instan bagi caleg, parpol, dan atau figur elite politisi kandidat capres/cawapres. Kapital menjadi penentu masa depan dan atau keberlanjutan bahkan kebernilaian seorang politisi untuk menjadi bagian dari proses politik ke depan. Akibatnya, kalkulasi politik yang berkembang di lingkungan parpol lebih bernuansa untung-rugi, yang akhirnya menjadi titik pertemuan bagi lahirnya kesepakatan-kesepakatan oligarkis antara partai dan seseorang yang mengharapkan bisa lolos seleksi internal sebagai caleg. Surat rekomendasi atau surat keputusan parpol untuk seorang caleg non-partisan resmi dapat "dibeli" dengan kalkulasi harga tertentu, tunai, kredit, atau bahkan penundaan pembayaran. Hal ini menjadikan parpol tak lebih dari sebuah unit usaha dagang dengan suara rakyat sebagai konsumen insidental.
Akan tetapi, tentu saja tidak semua caleg atau politisi yang mengadu nasib dalam Pileg kemarin berpola pikir seperti itu. Sederet kader partai yang memiliki potensi kepemimpinan dan sumber daya kompetitif tentu layak direkomendasi untuk menjadi caleg. Hal ini sebagai bentuk reward atas dasar prestasi daripada meloloskan seseorang menjadi caleg yang berparadigma "mengadu nasib dan mencari nafkah” sebagai caleg dalam ajang perhelatan demokrasi. Yang menjadi persoalan krusial dalam Pemilu tahun ini adalah: bagaimana masyarakat sebagai pemilih yang memiliki “otonomi” dapat mengetahui keberlanjutan aspirasinya dalam ajang Pilpres 2009? Apakah mereka juga berperan dalam menentukan arah koalisi parpol? Atau pola relasional antara parpol dan konstituennya telah "putus" dan "nyambung" lagi di Pemilu 2014?
Parpol dan Lingkaran Setan Kooptasi
Sekali lagi, tak ada yang berubah dari sebuah ajang pemilihan umum dari 1999, 2004 dan sekarang Pemilu 2009. Pemilihan umum yang diharapkan menjadi wahana serap-aspirasi dan konstruksi relasional antara negara dan rakyat masih berputar-putar menjadi ajang bisnis jual-beli suara, hanya saja ada pergeseran strategi dan promosi serta keberanian lebih untuk menghujat dan memuji-muji diri. Pemilihan umum yang diharapkan dapat berlangsung secara “luber" dan "jurdil” masih disarat-padati kenampakan yang kian memprihatinkan seperti silang-sengkarut daftar pemilih tetap (DPT), sosialisasi dan distribusi kertas suara yang tersendat dan terputus, hingga molornya rekapitulasi suara, hingga hasil rekapitulasi itu sendiri yang masih sarat dengan pro-kontra.
Pemilihan umum masih setia memaksa dan menjebak rakyat dalam lingkaran setan “demokrasi pasar” untuk memilih caleg yang hanya dikenal melalui iklan, poster, spanduk, baliho, serta etalase pencitraan diri di sepanjang jalan. Secara substansial, masyarakat malah tak punya sumber informasi yang cukup apalagi valid, tentang latar belakang sejarah atau pendidikan, gagasan pemikiran, lebih-lebih agenda politik yang akan diperjuangkan ke depan. Di level bawah, caleg lebih memanfaatkan jaringan petualang non-partisan parpol yang "berkuasa" di lokalitas daerah, sebagaimana manajemen pemasaran produk yang bergantung pada distributor dan sales marketing.
Ketika kepercayaan publik pada parpol semakin surut, parpol menjadi satu-satunya sumber informasi bagi masyarakat pemilih tentang caleg yang ada, semata berputar pada pola relasional dengan partai yang “merekomendasikan” si caleg. Hal inilah, yang dibaca oleh parpol sebagai peluang usaha "menjual" surat rekomendasi dan surat keputusan kepada personal individu berminat mencari nafkah dengan menjual diri ajang pemilihan umum. Gagasan pemikiran atau agenda politik ke depan yang harus diperjuangkan para caleg tidak menjadi persolan, yang penting adalah besaran kapital dan strategi pemenangan yang brillian dan kontekstual.
Sederet iklan kampanye (promosi) caleg di media massa atau di pinggir-pinggir jalan, baik caleg politisi produk daur ulang maupun caleg instan-karbitan, ternyata miskin gagasan pemikiran atau agenda politik ke depan. Sederet iklan kampanye (promosi) caleg berebut menghadirkan potret diri yang narsis hingga menjadikan Pemilu 2009 jauh dari perdebatan substansial menyangkut ide dan gagasan yang mewakili pilihan-pilihan kebijakan yang dibutuhkan publik. Padahal, Klingemann (1994) mengatakan bahwa setiap partai dan caleg yang berniat mempromosikan diri untuk dipilih, idealnya memiliki kebijakan berupa agenda politik yang diformulasikan ke dalam bentuk kebijakan publik yang konkret. Ketika hal ini tidak dilakukan oleh para caleg, akibatnya, tak ada banyak pilihan bagi rakyat, rakyat "terpaksa" menitipkan suaranya hanya berdasar pada iklan-iklan promotif yang validitasnya dipertanyakan dan gambar-gambar diri narsis yang identik dengan etalase di lokalisasi, atau bahkan hanya karena "terpaksa" menerima amplop berisi selembar lima ribuan hingga lima puluh ribuan dari sales marketing dan distributor oknum caleg dan parpol tertentu.
Lalu, dimanakah pendewasaan politik dan demokrasi yang sering disampaikan oleh politisi?
Komunikasi Parpol-Pemilih
Pendewasaan politik dapat dilakukan dengan melakukan pendidikan politik secara berkesinambungan, membebaskan, dan penuh dengan kejujuran. Pendewasaan politik akan melahirkan masyarakat pemilih yang rasional (rational voters society). Konstruksi masyarakat pemilih yang rasional tersebut berpijak pada tiga komponen mendasar. Pertama, masyarakat pemilih memiliki materi informasi latar belakang sejarah dan pendidikan, gagasan pemikiran, serta agenda politik ke depan yang diperjuangkan oleh caleg. Kedua, masyarakat pemilih bebas mempertimbangkan berbagai alternatif informasi latar belakang sejarah dan pendidikan, gagasan pemikiran, serta agenda politik ke depan para caleg yang dianggap aspiratif. Ketiga, masyarakat pemilih bebas memutuskan memilih (termasuk memilih untuk tidak memilih) dari hasil kalkulasi informasi latar belakang sejarah dan pendidikan, gagasan pemikiran, serta agenda politik ke depan. Jikalau tidak ada caleg yang sesuai dengan harapanya, bukan sebuah produk kampanye golput jikalau masyarakat pemilh memilih untuk tidak memilih. Hal ini dilatarbelakangi kemunculan puluhan parpol sebagai peserta Pemilu 2009, berikut ribuan daftar nama caleg yang mewakili masing-masing daerah pemilihan (Dapil) ternyata tidak menjadi jaminan adanya representasi pilihan-pilihan dan aspirasi public, minimal di dapil tersebut. Mengakarnya sistem oligarki dalam tubuh parpol ternyata menjadi hambatan mendasar lahirnya kebijakan politik partai yang konform dengan aspirasi publik. Mencegah meruapnya kooptasi parpol hingga manjauhkan kesejatian demokratisasi, yang dibutuhkan adalah bagaimana mengurangi dampak negatif oligarkisme partai dengan memperluas komunikasi parpol dan masyarakat (terutama konstituennya) dengan tema agenda strategis partai.
Secara kontekstual, gerakan membangun komunikasi politik antara parpol dengan pemilih face to face parpol-caleg-capres/cawapres tentu bisa dipandang sebagai bagian dari upaya untuk membumikan partai, yaitu bagaimana parpol menjalin komunikasi ulang untuk membaca kembali aspirasi masyarakat, hingga mampu menuliskannya kembali dalam sebuah agregasi politik yang lebih memihak kepada rakyat. Bukan sekedar mengangkat jargon "ekonomi kerakyatan" namun implementasinya masih samar dan kabur, dan andaikata terpilih nanti parameternya semata berdasar angka-angka survey produk lembaga survey yang dibiayainya.
Proses komunikasi ulang menjadi jembatan kepercayaan masyarakat pemilih (publik) terhadap partai bisa eksis dan berkelanjutan (sustainibility). Sudah saatnya, parpol menghentikan pembantaian kepercayaan masyarakat pemilih dan menghormati kepercayaan tersebut sebagai amanah yang harus dijaga dan dipelihara. Selama parpol belum bisa belajar menghormati kepercayaan pemilih dan selama politisi maupun mengabaikan posisi dan peran konstituen dalam langkah gerak politiknya maka jangan harap ada perubahan Indonesia dari ada atau tidaknya pemilihan umum. (*)
Blog: http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com/
Alamat ratron (surat elektronik): redaksi@kabarindonesia.com Berita besar hari ini...!!! Kunjungi segera:
http://kabarindonesia.com/
Ada yang hilang dari media. Apakah itu? Sebulan yang lalu, media kita disarat-padati wajah-wajah caleg dan petinggi partai politik (parpol) yang "terpaksa" menyapa warga masyarakat agar sudi menjatuhkan contrengannya kepada nama dan atau gambar partainya. Tapi di tengah kemoloran rekapitulasi Komisi Pemilihan Umum (KPU), para petinggi parpol mensegerakan aksian "lupa-lupa syairnya" dan konsenstrasi menghitung-hitung arah koalisi. Meski masih berpijak pada hasil quick count dan hasil survey lembaga sana-lembaga sini, tetapi parpol telah membawa suara konstituen dalam kantongnya sebagai materi bargain power menentukan keberhargaan diri. Ironis sekali, baru sebulan lalu berakrab-akrab ria dengan rakyat, namun sekarang telah enggan menyapanya kembali dalam penentuan arah progresivitas parpol, terutama dalam membangun koalisi menuju Pemilihan Presiden 2009 Juli nanti.
Konsumen Insidental
Apabila kearifan meluangkan waktu di ruang tamu hati kita, kita akan menyadari bahwa politisi memandang rakyat sebagai konsumen insidental, habis manis sepah dibuang. Belumlah kering air liur menyapa dan menyerukan akan perhatiannya kepada rakyat, atau wong cilik (terserahlah politisi-politisi menyebut rakyat sebagai apa), para petinggi parpol telah melupakan eksistensi dan aspirasi konstituen sebagai amanah dan bahan bakar utama lajunya sebuah kendaraan politik bernama parpol. Ketika kita sedikit lebih berani mengevaluasi rangkaian peristiwa dalam pemilihan anggota legislatif (Pileg) 2009, kita akan mendokumentasi fenomena bahwa dalam masa kampanye terbuka kemarin proses interaksi ruang publik kita disarat-padati berbagai polesan citra politisi, baik yang merupakan produk daur ulang maupun caleg-caleg karbitan yang ingin menarik simpati dan kepercayaan masyarakat. Manajemen atau strategi populis menjadi pilihan mudah bagi para caleg untuk memperkenalkan dan mengkampanyekan diri. Padahal, manajemen populis bersifat temporer, bahkan insidental, dan terikat ruang dan waktu. Seperti halnya Kontes Dangdut Indonesia (KDI) di TPI atau "The Master" di RCTI, pilihan strategi kampanye politisi dalam Pileg 2009, justru menjadikan ajang pesta demokrasi tak lebih dari ajang unjuk kreatifitas dan popularitas individu. Akibatnya, esensi pemilu menjadi mimpi lalu yang kelak akan susah untuk diceritakan kepada anak dan cucu. Realitanya, apa yang dilakukan politisi tersebut tidaklah terlalu berlebihan melenceng dari kesejatian manusia, karena penggunan manajemen dan strategi populis lebih disebabkan oleh motivasi ekonomi dan budaya instan; lebih cepat lebih menghasilkan. Meski harus jujur diakui bahwa tak ada ruang bagi kalibrasi proses menuju keberhasilan atau ketercapaian harapan sebuah pesta demokrasi. Motivasi ekonomi menjadikan segenap aksian politik yang dilakukan para caleg cenderung mentransfer metodologi bisnis dan mempertimbangkan aspek kapital, pasar, produk, hingga promosi. Terbukti, caleg parpol dengan kapital besar mampu meraih simpati dan suara konstituen karena memiliki peluang yang lebih besar untuk berkampanye (promosi) dibandingkan caleg parpol dengan modal cekak.
Faktanya, kapital tidak lagi sekadar berfungsi untuk untuk menutup biaya produksi penciptaan popularitas secara instan bagi caleg, parpol, dan atau figur elite politisi kandidat capres/cawapres. Kapital menjadi penentu masa depan dan atau keberlanjutan bahkan kebernilaian seorang politisi untuk menjadi bagian dari proses politik ke depan. Akibatnya, kalkulasi politik yang berkembang di lingkungan parpol lebih bernuansa untung-rugi, yang akhirnya menjadi titik pertemuan bagi lahirnya kesepakatan-kesepakatan oligarkis antara partai dan seseorang yang mengharapkan bisa lolos seleksi internal sebagai caleg. Surat rekomendasi atau surat keputusan parpol untuk seorang caleg non-partisan resmi dapat "dibeli" dengan kalkulasi harga tertentu, tunai, kredit, atau bahkan penundaan pembayaran. Hal ini menjadikan parpol tak lebih dari sebuah unit usaha dagang dengan suara rakyat sebagai konsumen insidental.
Akan tetapi, tentu saja tidak semua caleg atau politisi yang mengadu nasib dalam Pileg kemarin berpola pikir seperti itu. Sederet kader partai yang memiliki potensi kepemimpinan dan sumber daya kompetitif tentu layak direkomendasi untuk menjadi caleg. Hal ini sebagai bentuk reward atas dasar prestasi daripada meloloskan seseorang menjadi caleg yang berparadigma "mengadu nasib dan mencari nafkah” sebagai caleg dalam ajang perhelatan demokrasi. Yang menjadi persoalan krusial dalam Pemilu tahun ini adalah: bagaimana masyarakat sebagai pemilih yang memiliki “otonomi” dapat mengetahui keberlanjutan aspirasinya dalam ajang Pilpres 2009? Apakah mereka juga berperan dalam menentukan arah koalisi parpol? Atau pola relasional antara parpol dan konstituennya telah "putus" dan "nyambung" lagi di Pemilu 2014?
Parpol dan Lingkaran Setan Kooptasi
Sekali lagi, tak ada yang berubah dari sebuah ajang pemilihan umum dari 1999, 2004 dan sekarang Pemilu 2009. Pemilihan umum yang diharapkan menjadi wahana serap-aspirasi dan konstruksi relasional antara negara dan rakyat masih berputar-putar menjadi ajang bisnis jual-beli suara, hanya saja ada pergeseran strategi dan promosi serta keberanian lebih untuk menghujat dan memuji-muji diri. Pemilihan umum yang diharapkan dapat berlangsung secara “luber" dan "jurdil” masih disarat-padati kenampakan yang kian memprihatinkan seperti silang-sengkarut daftar pemilih tetap (DPT), sosialisasi dan distribusi kertas suara yang tersendat dan terputus, hingga molornya rekapitulasi suara, hingga hasil rekapitulasi itu sendiri yang masih sarat dengan pro-kontra.
Pemilihan umum masih setia memaksa dan menjebak rakyat dalam lingkaran setan “demokrasi pasar” untuk memilih caleg yang hanya dikenal melalui iklan, poster, spanduk, baliho, serta etalase pencitraan diri di sepanjang jalan. Secara substansial, masyarakat malah tak punya sumber informasi yang cukup apalagi valid, tentang latar belakang sejarah atau pendidikan, gagasan pemikiran, lebih-lebih agenda politik yang akan diperjuangkan ke depan. Di level bawah, caleg lebih memanfaatkan jaringan petualang non-partisan parpol yang "berkuasa" di lokalitas daerah, sebagaimana manajemen pemasaran produk yang bergantung pada distributor dan sales marketing.
Ketika kepercayaan publik pada parpol semakin surut, parpol menjadi satu-satunya sumber informasi bagi masyarakat pemilih tentang caleg yang ada, semata berputar pada pola relasional dengan partai yang “merekomendasikan” si caleg. Hal inilah, yang dibaca oleh parpol sebagai peluang usaha "menjual" surat rekomendasi dan surat keputusan kepada personal individu berminat mencari nafkah dengan menjual diri ajang pemilihan umum. Gagasan pemikiran atau agenda politik ke depan yang harus diperjuangkan para caleg tidak menjadi persolan, yang penting adalah besaran kapital dan strategi pemenangan yang brillian dan kontekstual.
Sederet iklan kampanye (promosi) caleg di media massa atau di pinggir-pinggir jalan, baik caleg politisi produk daur ulang maupun caleg instan-karbitan, ternyata miskin gagasan pemikiran atau agenda politik ke depan. Sederet iklan kampanye (promosi) caleg berebut menghadirkan potret diri yang narsis hingga menjadikan Pemilu 2009 jauh dari perdebatan substansial menyangkut ide dan gagasan yang mewakili pilihan-pilihan kebijakan yang dibutuhkan publik. Padahal, Klingemann (1994) mengatakan bahwa setiap partai dan caleg yang berniat mempromosikan diri untuk dipilih, idealnya memiliki kebijakan berupa agenda politik yang diformulasikan ke dalam bentuk kebijakan publik yang konkret. Ketika hal ini tidak dilakukan oleh para caleg, akibatnya, tak ada banyak pilihan bagi rakyat, rakyat "terpaksa" menitipkan suaranya hanya berdasar pada iklan-iklan promotif yang validitasnya dipertanyakan dan gambar-gambar diri narsis yang identik dengan etalase di lokalisasi, atau bahkan hanya karena "terpaksa" menerima amplop berisi selembar lima ribuan hingga lima puluh ribuan dari sales marketing dan distributor oknum caleg dan parpol tertentu.
Lalu, dimanakah pendewasaan politik dan demokrasi yang sering disampaikan oleh politisi?
Komunikasi Parpol-Pemilih
Pendewasaan politik dapat dilakukan dengan melakukan pendidikan politik secara berkesinambungan, membebaskan, dan penuh dengan kejujuran. Pendewasaan politik akan melahirkan masyarakat pemilih yang rasional (rational voters society). Konstruksi masyarakat pemilih yang rasional tersebut berpijak pada tiga komponen mendasar. Pertama, masyarakat pemilih memiliki materi informasi latar belakang sejarah dan pendidikan, gagasan pemikiran, serta agenda politik ke depan yang diperjuangkan oleh caleg. Kedua, masyarakat pemilih bebas mempertimbangkan berbagai alternatif informasi latar belakang sejarah dan pendidikan, gagasan pemikiran, serta agenda politik ke depan para caleg yang dianggap aspiratif. Ketiga, masyarakat pemilih bebas memutuskan memilih (termasuk memilih untuk tidak memilih) dari hasil kalkulasi informasi latar belakang sejarah dan pendidikan, gagasan pemikiran, serta agenda politik ke depan. Jikalau tidak ada caleg yang sesuai dengan harapanya, bukan sebuah produk kampanye golput jikalau masyarakat pemilh memilih untuk tidak memilih. Hal ini dilatarbelakangi kemunculan puluhan parpol sebagai peserta Pemilu 2009, berikut ribuan daftar nama caleg yang mewakili masing-masing daerah pemilihan (Dapil) ternyata tidak menjadi jaminan adanya representasi pilihan-pilihan dan aspirasi public, minimal di dapil tersebut. Mengakarnya sistem oligarki dalam tubuh parpol ternyata menjadi hambatan mendasar lahirnya kebijakan politik partai yang konform dengan aspirasi publik. Mencegah meruapnya kooptasi parpol hingga manjauhkan kesejatian demokratisasi, yang dibutuhkan adalah bagaimana mengurangi dampak negatif oligarkisme partai dengan memperluas komunikasi parpol dan masyarakat (terutama konstituennya) dengan tema agenda strategis partai.
Secara kontekstual, gerakan membangun komunikasi politik antara parpol dengan pemilih face to face parpol-caleg-capres/cawapres tentu bisa dipandang sebagai bagian dari upaya untuk membumikan partai, yaitu bagaimana parpol menjalin komunikasi ulang untuk membaca kembali aspirasi masyarakat, hingga mampu menuliskannya kembali dalam sebuah agregasi politik yang lebih memihak kepada rakyat. Bukan sekedar mengangkat jargon "ekonomi kerakyatan" namun implementasinya masih samar dan kabur, dan andaikata terpilih nanti parameternya semata berdasar angka-angka survey produk lembaga survey yang dibiayainya.
Proses komunikasi ulang menjadi jembatan kepercayaan masyarakat pemilih (publik) terhadap partai bisa eksis dan berkelanjutan (sustainibility). Sudah saatnya, parpol menghentikan pembantaian kepercayaan masyarakat pemilih dan menghormati kepercayaan tersebut sebagai amanah yang harus dijaga dan dipelihara. Selama parpol belum bisa belajar menghormati kepercayaan pemilih dan selama politisi maupun mengabaikan posisi dan peran konstituen dalam langkah gerak politiknya maka jangan harap ada perubahan Indonesia dari ada atau tidaknya pemilihan umum. (*)
Blog: http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com/
Alamat ratron (surat elektronik): redaksi@kabarindonesia.com Berita besar hari ini...!!! Kunjungi segera:
http://kabarindonesia.com/