Kamis, 10 September 2009
Rabu, 22 Juli 2009
Ada yang hilang dari media. Apakah itu? Sebulan yang lalu, media kita disarat-padati wajah-wajah caleg dan petinggi partai politik (parpol) yang "terpaksa" menyapa warga masyarakat agar sudi menjatuhkan contrengannya kepada nama dan atau gambar partainya. Tapi di tengah kemoloran rekapitulasi Komisi Pemilihan Umum (KPU), para petinggi parpol mensegerakan aksian "lupa-lupa syairnya" dan konsenstrasi menghitung-hitung arah koalisi. Meski masih berpijak pada hasil quick count dan hasil survey lembaga sana-lembaga sini, tetapi parpol telah membawa suara konstituen dalam kantongnya sebagai materi bargain power menentukan keberhargaan diri. Ironis sekali, baru sebulan lalu berakrab-akrab ria dengan rakyat, namun sekarang telah enggan menyapanya kembali dalam penentuan arah progresivitas parpol, terutama dalam membangun koalisi menuju Pemilihan Presiden 2009 Juli nanti.
Konsumen Insidental
Apabila kearifan meluangkan waktu di ruang tamu hati kita, kita akan menyadari bahwa politisi memandang rakyat sebagai konsumen insidental, habis manis sepah dibuang. Belumlah kering air liur menyapa dan menyerukan akan perhatiannya kepada rakyat, atau wong cilik (terserahlah politisi-politisi menyebut rakyat sebagai apa), para petinggi parpol telah melupakan eksistensi dan aspirasi konstituen sebagai amanah dan bahan bakar utama lajunya sebuah kendaraan politik bernama parpol. Ketika kita sedikit lebih berani mengevaluasi rangkaian peristiwa dalam pemilihan anggota legislatif (Pileg) 2009, kita akan mendokumentasi fenomena bahwa dalam masa kampanye terbuka kemarin proses interaksi ruang publik kita disarat-padati berbagai polesan citra politisi, baik yang merupakan produk daur ulang maupun caleg-caleg karbitan yang ingin menarik simpati dan kepercayaan masyarakat. Manajemen atau strategi populis menjadi pilihan mudah bagi para caleg untuk memperkenalkan dan mengkampanyekan diri. Padahal, manajemen populis bersifat temporer, bahkan insidental, dan terikat ruang dan waktu. Seperti halnya Kontes Dangdut Indonesia (KDI) di TPI atau "The Master" di RCTI, pilihan strategi kampanye politisi dalam Pileg 2009, justru menjadikan ajang pesta demokrasi tak lebih dari ajang unjuk kreatifitas dan popularitas individu. Akibatnya, esensi pemilu menjadi mimpi lalu yang kelak akan susah untuk diceritakan kepada anak dan cucu. Realitanya, apa yang dilakukan politisi tersebut tidaklah terlalu berlebihan melenceng dari kesejatian manusia, karena penggunan manajemen dan strategi populis lebih disebabkan oleh motivasi ekonomi dan budaya instan; lebih cepat lebih menghasilkan. Meski harus jujur diakui bahwa tak ada ruang bagi kalibrasi proses menuju keberhasilan atau ketercapaian harapan sebuah pesta demokrasi. Motivasi ekonomi menjadikan segenap aksian politik yang dilakukan para caleg cenderung mentransfer metodologi bisnis dan mempertimbangkan aspek kapital, pasar, produk, hingga promosi. Terbukti, caleg parpol dengan kapital besar mampu meraih simpati dan suara konstituen karena memiliki peluang yang lebih besar untuk berkampanye (promosi) dibandingkan caleg parpol dengan modal cekak.
Faktanya, kapital tidak lagi sekadar berfungsi untuk untuk menutup biaya produksi penciptaan popularitas secara instan bagi caleg, parpol, dan atau figur elite politisi kandidat capres/cawapres. Kapital menjadi penentu masa depan dan atau keberlanjutan bahkan kebernilaian seorang politisi untuk menjadi bagian dari proses politik ke depan. Akibatnya, kalkulasi politik yang berkembang di lingkungan parpol lebih bernuansa untung-rugi, yang akhirnya menjadi titik pertemuan bagi lahirnya kesepakatan-kesepakatan oligarkis antara partai dan seseorang yang mengharapkan bisa lolos seleksi internal sebagai caleg. Surat rekomendasi atau surat keputusan parpol untuk seorang caleg non-partisan resmi dapat "dibeli" dengan kalkulasi harga tertentu, tunai, kredit, atau bahkan penundaan pembayaran. Hal ini menjadikan parpol tak lebih dari sebuah unit usaha dagang dengan suara rakyat sebagai konsumen insidental.
Akan tetapi, tentu saja tidak semua caleg atau politisi yang mengadu nasib dalam Pileg kemarin berpola pikir seperti itu. Sederet kader partai yang memiliki potensi kepemimpinan dan sumber daya kompetitif tentu layak direkomendasi untuk menjadi caleg. Hal ini sebagai bentuk reward atas dasar prestasi daripada meloloskan seseorang menjadi caleg yang berparadigma "mengadu nasib dan mencari nafkah” sebagai caleg dalam ajang perhelatan demokrasi. Yang menjadi persoalan krusial dalam Pemilu tahun ini adalah: bagaimana masyarakat sebagai pemilih yang memiliki “otonomi” dapat mengetahui keberlanjutan aspirasinya dalam ajang Pilpres 2009? Apakah mereka juga berperan dalam menentukan arah koalisi parpol? Atau pola relasional antara parpol dan konstituennya telah "putus" dan "nyambung" lagi di Pemilu 2014?
Parpol dan Lingkaran Setan Kooptasi
Sekali lagi, tak ada yang berubah dari sebuah ajang pemilihan umum dari 1999, 2004 dan sekarang Pemilu 2009. Pemilihan umum yang diharapkan menjadi wahana serap-aspirasi dan konstruksi relasional antara negara dan rakyat masih berputar-putar menjadi ajang bisnis jual-beli suara, hanya saja ada pergeseran strategi dan promosi serta keberanian lebih untuk menghujat dan memuji-muji diri. Pemilihan umum yang diharapkan dapat berlangsung secara “luber" dan "jurdil” masih disarat-padati kenampakan yang kian memprihatinkan seperti silang-sengkarut daftar pemilih tetap (DPT), sosialisasi dan distribusi kertas suara yang tersendat dan terputus, hingga molornya rekapitulasi suara, hingga hasil rekapitulasi itu sendiri yang masih sarat dengan pro-kontra.
Pemilihan umum masih setia memaksa dan menjebak rakyat dalam lingkaran setan “demokrasi pasar” untuk memilih caleg yang hanya dikenal melalui iklan, poster, spanduk, baliho, serta etalase pencitraan diri di sepanjang jalan. Secara substansial, masyarakat malah tak punya sumber informasi yang cukup apalagi valid, tentang latar belakang sejarah atau pendidikan, gagasan pemikiran, lebih-lebih agenda politik yang akan diperjuangkan ke depan. Di level bawah, caleg lebih memanfaatkan jaringan petualang non-partisan parpol yang "berkuasa" di lokalitas daerah, sebagaimana manajemen pemasaran produk yang bergantung pada distributor dan sales marketing.
Ketika kepercayaan publik pada parpol semakin surut, parpol menjadi satu-satunya sumber informasi bagi masyarakat pemilih tentang caleg yang ada, semata berputar pada pola relasional dengan partai yang “merekomendasikan” si caleg. Hal inilah, yang dibaca oleh parpol sebagai peluang usaha "menjual" surat rekomendasi dan surat keputusan kepada personal individu berminat mencari nafkah dengan menjual diri ajang pemilihan umum. Gagasan pemikiran atau agenda politik ke depan yang harus diperjuangkan para caleg tidak menjadi persolan, yang penting adalah besaran kapital dan strategi pemenangan yang brillian dan kontekstual.
Sederet iklan kampanye (promosi) caleg di media massa atau di pinggir-pinggir jalan, baik caleg politisi produk daur ulang maupun caleg instan-karbitan, ternyata miskin gagasan pemikiran atau agenda politik ke depan. Sederet iklan kampanye (promosi) caleg berebut menghadirkan potret diri yang narsis hingga menjadikan Pemilu 2009 jauh dari perdebatan substansial menyangkut ide dan gagasan yang mewakili pilihan-pilihan kebijakan yang dibutuhkan publik. Padahal, Klingemann (1994) mengatakan bahwa setiap partai dan caleg yang berniat mempromosikan diri untuk dipilih, idealnya memiliki kebijakan berupa agenda politik yang diformulasikan ke dalam bentuk kebijakan publik yang konkret. Ketika hal ini tidak dilakukan oleh para caleg, akibatnya, tak ada banyak pilihan bagi rakyat, rakyat "terpaksa" menitipkan suaranya hanya berdasar pada iklan-iklan promotif yang validitasnya dipertanyakan dan gambar-gambar diri narsis yang identik dengan etalase di lokalisasi, atau bahkan hanya karena "terpaksa" menerima amplop berisi selembar lima ribuan hingga lima puluh ribuan dari sales marketing dan distributor oknum caleg dan parpol tertentu.
Lalu, dimanakah pendewasaan politik dan demokrasi yang sering disampaikan oleh politisi?
Komunikasi Parpol-Pemilih
Pendewasaan politik dapat dilakukan dengan melakukan pendidikan politik secara berkesinambungan, membebaskan, dan penuh dengan kejujuran. Pendewasaan politik akan melahirkan masyarakat pemilih yang rasional (rational voters society). Konstruksi masyarakat pemilih yang rasional tersebut berpijak pada tiga komponen mendasar. Pertama, masyarakat pemilih memiliki materi informasi latar belakang sejarah dan pendidikan, gagasan pemikiran, serta agenda politik ke depan yang diperjuangkan oleh caleg. Kedua, masyarakat pemilih bebas mempertimbangkan berbagai alternatif informasi latar belakang sejarah dan pendidikan, gagasan pemikiran, serta agenda politik ke depan para caleg yang dianggap aspiratif. Ketiga, masyarakat pemilih bebas memutuskan memilih (termasuk memilih untuk tidak memilih) dari hasil kalkulasi informasi latar belakang sejarah dan pendidikan, gagasan pemikiran, serta agenda politik ke depan. Jikalau tidak ada caleg yang sesuai dengan harapanya, bukan sebuah produk kampanye golput jikalau masyarakat pemilh memilih untuk tidak memilih. Hal ini dilatarbelakangi kemunculan puluhan parpol sebagai peserta Pemilu 2009, berikut ribuan daftar nama caleg yang mewakili masing-masing daerah pemilihan (Dapil) ternyata tidak menjadi jaminan adanya representasi pilihan-pilihan dan aspirasi public, minimal di dapil tersebut. Mengakarnya sistem oligarki dalam tubuh parpol ternyata menjadi hambatan mendasar lahirnya kebijakan politik partai yang konform dengan aspirasi publik. Mencegah meruapnya kooptasi parpol hingga manjauhkan kesejatian demokratisasi, yang dibutuhkan adalah bagaimana mengurangi dampak negatif oligarkisme partai dengan memperluas komunikasi parpol dan masyarakat (terutama konstituennya) dengan tema agenda strategis partai.
Secara kontekstual, gerakan membangun komunikasi politik antara parpol dengan pemilih face to face parpol-caleg-capres/cawapres tentu bisa dipandang sebagai bagian dari upaya untuk membumikan partai, yaitu bagaimana parpol menjalin komunikasi ulang untuk membaca kembali aspirasi masyarakat, hingga mampu menuliskannya kembali dalam sebuah agregasi politik yang lebih memihak kepada rakyat. Bukan sekedar mengangkat jargon "ekonomi kerakyatan" namun implementasinya masih samar dan kabur, dan andaikata terpilih nanti parameternya semata berdasar angka-angka survey produk lembaga survey yang dibiayainya.
Proses komunikasi ulang menjadi jembatan kepercayaan masyarakat pemilih (publik) terhadap partai bisa eksis dan berkelanjutan (sustainibility). Sudah saatnya, parpol menghentikan pembantaian kepercayaan masyarakat pemilih dan menghormati kepercayaan tersebut sebagai amanah yang harus dijaga dan dipelihara. Selama parpol belum bisa belajar menghormati kepercayaan pemilih dan selama politisi maupun mengabaikan posisi dan peran konstituen dalam langkah gerak politiknya maka jangan harap ada perubahan Indonesia dari ada atau tidaknya pemilihan umum. (*)
Blog: http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com/
Alamat ratron (surat elektronik): redaksi@kabarindonesia.com Berita besar hari ini...!!! Kunjungi segera:
http://kabarindonesia.com/
Gagal Panen Hantui Petani di Pringsewu
Oleh : Isnanto Hapsara (anton)
15-Jul-2009, 02:57:01 WIB - [www.kabarindonesia.com]
KabarIndonesia - Gagal panen dipastikan bakal menghantui sebagian besar petani di wilayah Kabupaten Pringsewu. Pasalnya, ketersediaan air yang menjadi urat nadi sektor ini sedang mengalami krisis, akibat sarana yang kurang mendukung. Meskipun, di sejumlah titik telah terpasang sarana sumur bor, namun masih belum dapat mengatasi kekurangan air tersebut.
Aliansi Petani Pringsewu, melalui ketuanya Suyudi, berharap Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Pringsewu melalui Dinas Pertanian, Perikanan, Peternakan, Perkebunan, dan Kehutanan setempat, dapat segera melakukan langkah guna mengatasi persoalan yang dihadapi petani tersebut.
"Bukan hanya petani saja yang merasakan dampak dari terjadinya krisis air ini, tetapi juga petani ikan tawar di daerah ini," kata Suyudi, saat diskusi bersama perwakilan petani dari delapan kecamatan di Pagelaran, beberapa waktu lalu.
Makin menurunnya ketersediaan air, merupakan akibat terjadinya kerusakan lingkungan di daerah ini, seperti rusaknya hutan, Daerah Aliran Sungai (DAS), saranja irigasi, maupun pendangkalan waduk.
“Perbaikan sejumlah sarana pengairan hendaknya menjadi prioritas program Pejabat Bupati Pringsewu untuk jangka pendek ini, mengingat hal tersebut mempunyai dampak langsung terhadap berbagai sektor," ujarnya.
Ke depan, tentunya sangat diperlukan adanya semacam 'grand strategy management' mengenai sumber daya hutan, lahan dan air bekerja sama dengan Kabupaten Tanggamus.
"Sebab, selama ini daerah resapan air di Kabupaten Pringsewu masih mengandalkan daerah hutan di wilayah tetangganya, Kabupaten Tanggamus, mengingat Pringsewu boleh dibilang sedikit mempunyai hutan," tambahnya.
Selain itu, Pemkab Pringsewu dapat mengoptimalkan sejumlah saluran irigasi dan bendungan melalui dinas terkait.
"Bukankah sebelumnya pernah dilakukan studi kelayakan untuk rencana menaikkan air dari sungai Way Sekampung yang entah mengapa bisa terhenti. Banyaknya alih fungsi lahan pertanian ke fungsi lain di Kabupaten Pringsewu, merupakan salah satu penyebab terjadinya krisis air bagi petani di daerah ini," pungkasnya. (*)
Foto Ilustrasi: Fotosearch
Blog: http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com/
Alamat ratron (surat elektronik): redaksi@kabarindonesia.com
Berita besar hari ini...!!! Kunjungi segera:
http://kabarindonesia.com//
Waspadai Perekonomian Indonesia 2009 Oleh : Karno Raditya 12-Nov-2008, 18:31:42 WIB - [www.kabarindonesia.com] |
KabarIndonesia -- Menghadapi berbagai gejolak ekonomi dunia, maka tak ada pilihan lain bagi kita, kecuali harus melakukan terobosan untuk bisa bangkit dari keterpurukan ekonomi maupun sosial. Terobosan itu perlu dilakukan, mengingat masyarakat Indonesia saat ini cenderung frustasi dan kurang bersemangat untuk melakukan perubahan guna memperbaiki kondisi. Economist Intelligence Unit memperkirakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia 2009 hanya 3,7 persen. Artinya, ini akan melamban karena pengaruh krisis keuangan dunia. Situasi seperti ini memang patut kita waspadai. Kita memang harus maklum, tidak ada satu negara pun yang kebal terhadap hantaman krisis keuangan global. Dalam situasi seperti ini, kita memang harus lebih waspada, lebih-lebih makin ketatnya likuiditas keuangan global, sehingga suka tidak suka akan membuat Indonesia sulit mendapatkan sumber pendanaan. Oleh kerenanya pertumbuhan investasi aset tetap di Indonesia juga akan turun. Kita butuh terobosan baru, guna mencarikan solusinya sejak dini. Kalau kita lengah, maka dikhawatirkan krisis ekonomi jilid kedua di Indonesia akan lebih parah dibanding 10 tahun lalu. Dalam laporan kajian risiko berbisnis di Indonesia yang diterbitkan EIU Oktober 2008, diperkirakan akan ada aliran modal keluar dari Indonesia pada tahun depan. Itu akan mengakibatkan perusahaan-perusahaan kesulitan pendanaan karena cadangan valuta asing yang menipis. Jika ini terjadi maka Indonesia akan mengalami kesulitan akibat dampak krisis global yang mulai terasa mempengaruhi pasar modal. Sejumlah besar surat hutang negara yang dipegang oleh investor asing, dikhawatirkan akan menyulitkan Indonesia di masa depan. Menurunnya nilai rupiah terhadap dolar Amerika secara drastis dalam beberapa minggu terakhir ini, menjadi pertanda bagi kita akan terjadi sesuatu yang kurang baik. Kita lihat memang tidak terjadi krisis neraca pembayaran, tapi risiko pelarian modal terutama dari investor domestik yang sejauh ini percaya pada rupiah, masih bakal terjadi. Kalau kita lihat kebijakan uang ketat, khususnya yang diterapkan Bank Indonesia untuk mengatasi inflasi dan upaya menjaga suku bunga tinggi, guna mempertahankan nilai rupiah, juga bakal mengurangi belanja konsumen dan menghambat investasi. Meski Indonesia telah membuat perbaikan penting beberapa tahun terakhir, tapi yang kita lihat masih banyak masalah yang perlu diselesaikan untuk membantu Indonesia agar tahan menghadapi krisis finansial dan ekonomi. Kalau kita lengah, maka pengangguran bakal meningkat dan jumlah rakyat miskin bakal bertambah. Terobosan itulah yang kita perlukan, untuk mencegah angka pengangguran di Indonesia yang diperkirakan akan naik sebesar 9 persen di tahun 2009 dari tahun lalu, sekitar 8.5 persen. Kenaikan jumlah pengangguran ini lebih disebabkan menurunnya penyerapan tenaga kerja dalam bidang industri, yang mencapai 36,6 persen pada kuartal kedua di tahun 2008 ini. Kita memang patut mewaspadai kondisi perkonomian di tahun 2009. Pasalnya banyak bidang yang mengalami penurunan, termasuk bidang ekonomi yang menunjukkan semakin melemahnya performa sector tradable (pertanian dan industri). Selain itu, penurunan kemajuan pertanian dan peternakan yang turun masing-masing 5 persen dan 3 persen, juga sektor pertambangan dan industri pengolahan. Menurut Latif, masih terdapat juga 12 persen hingga 14 persen angka kemiskinan yang menanti di tahun 2009, sementara penyerapan tenaga kerja secara besar-besaran sepertinya hampir tidak ada. Masalah pengangguran ini, diharapakan menjadi perhatian semua pihak, karena pertumbuhan non-tradable yang maju pesat, sementara sector tradable semakin melemah. Untuk itu, diperlukan kerjasama antara pemerintah dan pihak-pihak industri yang berkompeten untuk mendorong terbukanya kesempatan kerja dalam bidang industri. Hal ini sekaligus dapat mengurangi dominasi dari sector non-tradable yang telah menyerap sekitar 70 persen tenaga kerja produktif. Melihat data yang ada, maka penyerapan tenaga kerja yang paling dominan adalah sektor non-tradable. Dimana bidang perdagangan dan kemasyarakatan, masing-masing meraup sekitar 1,25 juta orang dan 1,82 juta orang, sehingga totalnya mencapai lebih dari 3 juta orang. Sedangkan jumlah tenaga kerja baru yang diserap dalam sector tradable hanya sebesar 430 ribu orang. Dari data ini, maka kita melihat bahwa telah terjadi proses informalisasi atau dominasi dari sector non-tradable dalam perekonomian Indonesia, dan inilah tanda bahwa perekonomian Indonesia mungkin perlu ada perbaikan. Krisis ekonomi di Indonesia menjadi sangat rentan, lebih-lebih jelang Pemilu dan Pilpres 2009. Apalagi kalau kita lihat yang terjadi pada masyarakat kita sekarang ini. Dimana budaya curiga menjadi lebih dominan, baik di tingkat elite politik maupun di masyarakat, sehingga dapat diibaratkan kekuasaan presiden saat ini sudah digerogoti dan tidak kuat lagi siapapun presidennya, apalagi DPR sangat berkuasa. Pada zaman pemerintahan Soeharto, penguasa menerapkan sistim sentral ekonomi. Tetapi, bukan konsep komunis yang dijaga oleh militer, sehingga kebijakan ini cukup kuat. Guna menyikapi dampak lanjutan krisis finansial global, maka Indonesia perlu terus melanjutkan upaya memperkuat ketahanan ekonominya, antara lain, dengan meningkatkan intensitas diversifikasi produk dan negara tujuan ekspor, membangun lingkungan investasi yang semakin kondusif dan memperkuat daya serap pasar dalam negeri. Karena itu, langkah pembangunan infrastruktur, penegakkan hukum dan reformasi birokrasi yang semakin bercitra bebas korupsi akan sangat diperlukan, kalau kita mau bangkit dari keterpurukan. (*) Blog: http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com/ Alamat ratron (surat elektronik): redaksi@kabarindonesia.com Berita besar hari ini...!!! Kunjungi segera: www.kabarindonesia.com |
|
Minggu, 05 Juli 2009
Pestisida adalah zat pengendali hama (seperti: ulat, wereng dan kepik). Pestisida Organik: adalah pengendali hama yang dibuat dengan memanfaatkan zat racun dari gadung dan tembakau. Karena bahan-bahan ini mudah didapat oleh petani, maka pestisida organik dapat dibuat sendiri oleh petani sehingga menekan biaya produksi dan akrab denga lingkungan.
Bahan dan Alat:
2 kg gadung.
1 kg tembakau.
2 ons terasi.
¼ kg jaringao (dringo).
4 liter air.
1 sendok makan minyak kelapa.
Parutan kelapa.
Saringan kelapa (kain tipis).
Ember plastik.
Nampan plastik.
Cara Pembuatan:
Minyak kelapa dioleskan pada kulit tangan dan kaki (sebagai perisai dari getah gadung).
Gadung dikupas kulitnya dan diparut.
Tembakau digodok atau dapat juga direndam dengan 3 liter air panas
Jaringao ditumbuk kemudian direndam dengan ½ liter air panas
Tembakau, jaringao, dan terasi direndam sendiri-sendiri selama 24 jam. Kemudian dilakukan penyaringan satu per satu dan dijadikan satu wadah sehingga hasil perasan ramuan tersebut menjadi 5 liter larutan.
Dosis:
1 gelas larutan dicampur 5-10 liter air.
2 gelas larutan dicampur 10-14 liter air.
Kegunaan:
Dapat menekan populasi serangan hama dan penyakit.
Dapat menolak hama dan penyakit.
Dapat mengundang makanan tambahan musuh alami.
Sasaran:
Wereng batang coklat, Lembing batu, Ulat grayak, ulat hama putih palsu.
Catatan: Meskipun ramuan ini lebih akrab lingkungan, penggunaannya harus memperhatikan batas ambang populasi hama. Ramuan ini hanya digunakan setelah polulasi hama berada atau di atas ambang kendali. Penggunaan di bawah batas ambang dan berlebihan dikhawatirkan akan mematikan musuh alami hama yang bersangkutan.
~ oleh petanidesa di/pada Februari 3, 2007.
Ditulis dalam Cara Membuat Pestisida Organik
Membuat pupuk Effective Microorganisme atau EM
Pupuk EM adalah pupuk organik yang dibuat melalui proses fermentasi menggunakan bakteri (microorganisme). Sampah organik dengan proses EM dapat menjadi pupuk organik yang bermanfaat meningkatkan kualitas tanah.
Beriikut langkah-langkah pembuatan pupuk menggunakan EM :
Pembuatan bakteri penghancur (EM).
Bahan-bahan :
- Susu sapi atau susu kambing murni.
- Isi usus (ayam/kambing), yang dibutuhkan adalah bakteri di dalam usus.
- Seperempat kilogram terasi (terbuat dari kepala/kulit udang, kepala ikan) + 1 kg Gula pasir (perasan tebu) + 1 kg bekatul + 1 buah nanas + 10 liter air bersih.
Alat-alat yang diperlukan :
Panci, kompor dan blender/parutan untuk menghaluskan nanas.
Cara pembuatan :
- Trasi, gula pasir, bekatul, nanas (yang dihaluskan dengan blender) dimasak agar bakteri lain yang tidak diperlukan mati.
- Setelah mendidih, hasil adonannya didinginkan.
- Tambahkan susu, isi usus ayam atau kambing.
- Ditutup rapat. Setelah 12 jam timbul gelembung-gelembung.
- Bila sudah siap jadi akan menjadi kental/lengket.
Perlu diperhatikan susu jangan yang sudah basi karena kemampuan bakteri sudah berkurang. Sedangkan kegunaan nanas adalah untuk menghilangkan bau hasil proses bakteri.
~ oleh petanidesa di/pada Februari 3, 2007.
Ditulis dalam Cara Membuat EM (Effective Microorganism)
Jumat, 29 Mei 2009
29/05/2009 21:00
Leah Hanaja
masyarakat. Tetap ada pro dan kontra bila ada seseorang memberi jawaban. Tetapi
alangkah baiknya bilamana kita, umat kristiani tidak usah terlibat dalam pertukaran
pendapat itu; oleh sebab kita sendiri dapat memperoleh data-data yang akurat dan kaitmengait
dengat erat, sehingga menunjukkan satu gambaran pribadi Tuhan Yesus, Juruselamat, Penebus.
Apakah Tuhan Yesus itu manusia? Atau apakah Ia Tuhan, sebagaimana Ia mengaku? Ia kedua-duanya; Ia manusia sebab dilahirkan dari seorang perempuan, tetapi "anak yang di dalam kandungannya adalah dari Roh Kudus." (Matius 1:20b) Kelahiran anak ini malahan sudah dinyatakan nabi Yesaya 700 tahun sebelum
Yesus dilahirkan.
“Sebab itu Tuhan sendirilah yang akan memberikan kepadamu suatu pertanda: Sesungguhnya, seorang perempuan muda mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki, dan ia akan menamakan Dia Imanuel.” (Yesaya 7:14)
Marilah kita perhatikan silsilah Yesus Kristus di Mat 1:1-16:
"Inilah silsilah Yesus Kristus, anak Daud, anak Abraham. Abraham memperanakkan Ishak, Ishak memperanakkan Yakub, Yakub memperanakkan Yehuda dan saudarasaudaranya....' Dari ayat-ayat sampai dengan ayat 15 tertulis: memperanakkan keturunan yang berikutnya. Tetapi pada ayat 16 Yakub memperanakkan Yusuf suami Maria, yang melahirkan Yesus, yang disebut Kristus. Untuk lebih jelas lagi dilanjutkan di Matius 1: 24b,25: “Ia mengambil Maria sebagai istrinya, tetapi tidak bersetubuh dengan dia sampai ia melahirkan anaknya laki-laki dan Yusuf menamakan Dia Yesus.” Selain nabi Yesaya ada juga seorang nabi lain yaitu Mikha yang tampil sekitar 750 S.M. Ia menyatakan: ay. 1 "Tetapi engkau, hai Betlehem Efrata , hai yang terkecil
diantara kaum-kaum Yehuda, daripadamu akan bangkit bagiKu seorang yang akan memerintah Israel, yang permulaannya sudah sejak purbakala, sejak dahulu kala; ay. 2b perempuan yang akan melahirkan, telah melahirkan." (Mikha 5:1 & 2b)
Selama keberadaanNya dibumi ini Tuhan Yesus secara fisik berwujud sebagai Hanaja, L. Kasih Kekal www.kasihkekal.org May 2005
Senin, 25 Mei 2009
[Artikel - Ekonomi Rakyat dan Reformasi Kebijakan - Juli 2004]
Mubyarto
Pendahuluan
Menyimak secara serius pernyataan-pernyataan para Capres/Cawapres di media elektronik tentang program-program ekonomi yang dijanjikan kepada rakyat untuk dilaksanakan, jika mereka terpilih, dengan segala maaf saya harus menyatakan sangat prihatin. Pada umumnya para Capres/Cawapres belum memahami benar apa itu ekonomi rakyat, dan karena belum jelas pemahaman mereka mengenai ekonomi rakyat, maka sulit diharapkan dapat dirumuskannya program-program kongkrit bagaimana mengembangkannya, dan yang sangat sering diucapkan bagaimana memberdayakannya.
Yang lebih sering kita dengar justru bukan konsep tentang ekonomi rakyat, tetapi ekonomi kerakyatan, yang menurut mereka harus diberdayakan juga. Maka mereka dengan bersemangat menyatakan akan menyusun dan melaksanakan program pemberdayaan ekonomi kerakyatan padahal ekonomi kerakyatan sebagaimana tercantum jelas dalam Propenas (UU No. 25/2000) adalah sistem ekonomi. Sistem ekonomi dapat dikembangkan dan yang jelas dilaksanakan, tidak diberdayakan, karena yang diberdayakan adalah orangnya, pelakunya, yaitu ekonomi rakyat.
Tentang Ekonomi Rakyat
Bung Hatta dalam Daulat Rakyat (1931) menulis artikel berjudul Ekonomi Rakyat dalam Bahaya, sedangkan Bung Karno 3 tahun sebelumnya (Agustus 1930) dalam pembelaan di Landraad Bandung menulis nasib ekonomi rakyat sebagai berikut:
Ekonomi Rakyat oleh sistem monopoli disempitkan, sama sekali didesak dan dipadamkan (Soekarno, Indonesia Menggugat, 1930: 31)
Jika kita mengacu pada Pancasila dasar negara atau pada ketentuan pasal 33 UUD 1945, maka memang ada kata kerakyatan tetapi harus tidak dijadikan sekedar kata sifat yang berarti merakyat. Kata kerakyatan sebagaimana bunyi sila ke-4 Pancasila harus ditulis lengkap yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, yang artinya tidak lain adalah demokrasi ala Indonesia. Jadi ekonomi kerakyatan adalah (sistem) ekonomi yang demokratis. Pengertian demokrasi ekonomi atau (sistem) ekonomi yang demokratis termuat lengkap dalam penjelasan pasal 33 UUD 1945 yang berbunyi:
Produksi dikerjakan oleh semua untuk semua dibawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran orang-seorang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi.
Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua orang! Sebab itu cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan orang-orang yang berkuasa dan rakyat yang banyak ditindasinya.
Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh ada di tangan orang-seorang.
Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Memang sangat disayangkan bahwa penjelasan tentang demokrasi ekonomi ini sekarang sudah tidak ada lagi karena seluruh penjelasan UUD 1945 diputuskan MPR untuk dihilangkan dengan alasan naif, yang sulit kita terima, yaitu “di negara-negara lain tidak ada UUD atau konstitusi yang memakai penjelasan”.
Bagaimana memberdayakan ekonomi rakyat
Jika kini telah diyakini bahwa yang harus diberdayakan adalah ekonomi rakyat bukan ekonomi kerakyatan, maka pertanyaan lugas yang dapat diajukan adalah bagaimana (cara) memberdayakan ekonomi rakyat.
Jika ekonomi rakyat dewasa ini masih “tidak berdaya”, maka harus kita teliti secara mendalam mengapa tidak berdaya, atau faktor-faktor apa saja yang menyebabkan ketidakberdayaan pelaku-pelaku ekonomi rakyat itu. Untuk menjawab pertanyaan inilah kutipan pernyataan Bung Karno di atas sangat membantu, yaitu ekonomi rakyat menjadi kerdil, terdesak, dan padam, karena sengaja disempitkan, didesak, dan dipadamkan oleh pemerintah penjajah melalui sistem monopoli, dan (sistem) monopoli ini dipegang langsung oleh pemerintah, atau diciptakan pemerintah dan diberikan kepada segelintir perusahaan-perusahaan konglomerat. Dari keuntungan besar yang diperolehnya kemudian konglomerat memberikan “bagi hasil” kepada pemerintah atau lebih buruk lagi kepada “oknum-oknum pejabat pemerintah”. Inilah salah satu bentuk korupsi melalui koneksi dan nepotisme yang kemudian disebut dengan nama KKN.
Cara yang paling mudah memberdayakan ekonomi rakyat adalah menghapuskan sistem monopoli, yang pernah “disembunyikan” dengan nama sistem tata niaga. Misalnya tataniaga jeruk Kalbar atau tataniaga cengkeh Sulut. Padahal yang dimaksudkan jelas sistem monopoli yang pemegang monopolinya ditunjuk pemerintah yaitu BPPC untuk cengkeh dan Puskud untuk Jeruk Kalbar. Itulah yang pernah kami katakan bahwa “di Indonesia pernghapusan monopoli tidak memerlukan UU Anti Monopoli seperti di AS tetapi jauh lebih mudah dan lebih sederhana yaitu dengan menerbitkan sebuah SK (Surat Keputusan) dari Presiden atau Menteri Perindustrian dan Perdagangan untuk mencabut monopoli yang sebelumnya memang telah diberikan pemerintah”.
Cara lain yang juga sudah sering kami anjurkan adalah pemberdayaan melalui pemihakan pemerintah. Jika pemerintah bertekad memberdayakan petani padi atau petani tebu misalnya, pemerintah harus berpihak kepada petani. Berpihak kepada petani berarti pemerintah tidak lagi berpihak pada konglomerat seperti dalam kasus jeruk dan cengkeh, yang berarti petani jeruk dan petani cengkeh memperoleh “kebebasan” untuk menjual kepada siapa saja yang mampu memberikan harga terbaik.
Khusus dalam kasus petani padi, yang terpukul karena harga pasar gabah dibiarkan merosot di bawah harga dasar, keberpihakan pemerintah jelas harus berupa pembelian langsung gabah “dengan dana tak terbatas” sampai harga gabah terangkat naik melebihi harga dasar yang telah ditetapkan pemerintah.
Demikian pemberdayaan dan pemihakan pada ekonomi rakyat sangat mudah pelaksanaannya kalau kita terapkan langsung pada ekonomi rakyat, bukan pada ekonomi kerakyatan, yang terakhir ini berarti sistem atau aturan main, yang tidak dapat diberdayakan.
Dengan digantinya oleh pemerintah istilah ekonomi rakyat dengan UKM (Usaha Kecil dan Menengah) yang sebenarnya sekedar menterjemahkan istilah asing SME (Small and Medium Enterprises), yang tidak mencakup 40 juta usaha mikro (93% dari seluruh unit usaha), maka segala pembahasan tentang upaya pemberdayaan ekonomi rakyat tidak akan mengena pada sasaran, dan akan menjadi slogan kosong.
Bahkan ada Capres/Cawapres yang secara sangat keliru menyamakan sektor ekonomi rakyat dengan sektor informal, yang hanya diartikan sebagai pelaku-pelaku ekonomi yang tidak berbadan hukum yang selalu “melanggar hukum” sehingga harus “ditindak”. Dan dengan definisi ini kemudian diajukan program pemberdayaan sektor “UKM” dengan secepatnya menjadikan atau “mentransformasi” sektor informal menjadi sektor formal. Jelas usulan program seperti ini tidak masuk akal dan menunjukkan ketidakpahaman Capres/Cawapres yang bersangkutan tentang ekonomi rakyat yang menyangkut hajat hidup 160 juta orang Indonesia yang sebenarnya sudah jauh lebih tua dibanding sektor formal, sektor informal sebaiknya justru yang disebut sektor formal.
Penutup
Tidak terlalu sulit bagi para Capres/Cawapres untuk mengkampanyekan program-program yang benar-benar dapat memberdayakan ekonomi rakyat asal pengertian ekonomi rakyat dipahami secara benar. Ekonomi rakyat adalah ekonominya wong cilik yang telah tergeser, terjepit, dan tersingkir, ketika pemerintah Orde Baru memprioritaskan kebijakan, strategi, dan program-programnya pada tujuan pertumbuhan ekonomi tinggi sekaligus dengan mengabaikan atau menunda pemerataannya. Kini dengan paradigma baru yang menomorsatukan pemerataan dan keadilan sesuai asas-asas ekonomi Pancasila, maka pemberdayaan ekonomi rakyat harus dijadikan kebijakan, strategi, dan program-program utama.
Kami anjurkan para Capres/Cawapres tidak memilih menggunakan istilah “UKM” yang salah kaprah, dan lebih baik mengunakan istilah ekonomi rakyat yang setiap orang yang “tidak terpelajar” pun mengerti persis artinya, yang merupakan istilah dan konsep yang sudah dipakai Bung Karno dan Bung Hatta sejak zaman pergerakan kemerdekaan.
Oleh: Prof. Dr. Mubyarto -- Guru Besar Fakultas Ekonomi UGM, Kepala Pusat Studi Ekonomi Pancasila (PUSTEP) UGM.
Menanam sayuran organik dalampot atau polybag mempunyai beberapa keuntungan antara lain
- Dapat diusahakan dalam skala kecil atau rumah tangga
- Mudah dalam pemeliharaan karena setiap tanaman ditanam dalam wadah tersendiri
- Kemungkinan penularan penyakit lewat akar kecil sekali, tanaman yang sakit mudah ditanami
- Menghemat pemakaian pupuk karena tidak terbuang percuma
- lebih mudah bila menanam beberapa jenis tanaman
- lahan yang digunakan lebih sempit karena pot atau polybag dapat diletakkan dalam rak yang bersusun
- memerlukan biaya untuk penyediaan polybag dan pot
- pengangkutan lebih lanjut
- memerlukan tempat penjualan yangluas bila akan menjual sayuran beserta wadahnya
- Penanam dapat digunakan polybag, pot, ember plastik, kaleng bekas biskuit diameter 20 -30 em dan tinggi sekitar 30 cm
- Media tanam untuk sayurab pada umumnya berupa campuran tanah dan pupuk kandang atau kompos
- Perbandingan dapat 1 : 1 , 1 : 2 , 1 : 3
- Ukuran biji berukuran kecil, seperti selda, sawi, cabai, dan tomat
- Tempat persemaian berupa kotak kayu, polybag, pot, daun pisang atau wadah lainnya yang berdiameter 10 cm dan wadah persemaian yang belum berlubang.
- persemaian dapat digunakan campuran tanah dan kompos dengan perbandingan 1 : 3
- Biji atau benih ditanam pada wadah persemaian yang telah didisi media tanam yang dengan jarak 1 -3 cm
- lamanya persemaianya tergantung dari jenis tanaman misalnya 2 -3 minggu untuk sawi
- Untuk tanaman disemai dahulu
- untuk tanaman yang tidak disemai di pot atau poly bag diisi oleh media tanam
- Beberapa perawatan rutin yang perlu dilakukan sebagai berikut
- setiap hari tanaman diperiksa jangan sampai ada hama atau penyakit
- bila masih kelihatan kurang subur, tanaman dapat dipupuk dengan pupuk kadang atau kompos yang telah matang
- Bila tanah terlihat kering, tanaman dapat disiram
- Untuk tanaman tomat, cabai, terung, dan tanaman lain yang menghasilan buah